Senin, 04 Juli 2011

CERPEN

Antara angka dan realita terkadang sulit dibedakan.
Tetapi manakala angka membawa duka
Realita pun akan dianggap bencana!

Dulu pernah dianggap bahwa matematika adalah ilmu para dewa. Artinya, hanya para dewa yang menguasai ilmu ini. Sedangkan manusia hanya menguasai ilmu-ilmu yang lain selain dari pada ilmu para dewa ini. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, karena kemurahan dewa penguasa ilmu matematika, seorang manusia bernama Korpa mendapat berkat dan rahmat menguasai ilmu yang luar biasa ini. Tetapi, meskipun Korpa dikaruniai kecerdasan yang luar biasa, tetap saja tidak semua rahasia ilmu ini berhasil diwarisinya. Penyebabnya? Karena dewa matematika harus segera menghadap pimpinan para dewa sebelum dia selesai mewariskan seluruh rahasia ilmu maha ajaib ini. Maka dari itu tidak mengherankan, jika sampai sekarang pun, tidak ada orang yang boleh membanggakan dirinya bahwa dia menguasai ilmu matematika secara tuntas. Selalu ada celah di mana manusia gagal menguasai ilmu maha ajaib ini secara keseluruhan.
Tetapi ternyata asumsi sederhana ini tidak berlaku bagi Profesor Doktor Kompyang Reda Magister of Science, profesor ahli matematika pertama di perguruan tinggi negeri tertua di Bali. Entah karena temperamennya yang keras dan kaku, entah karena dia memang tidak pernah membaca kisah Korpa, manusia pertama yang menguasai matematika, atau entah karena sebab yang lain, profesor yang satu ini selalu membanggakan kehebatannya dalam bidang ilmu matematika. Dan sejauh ini, apa yang dibanggakannya ternyata memang bukan isapan jempol belaka, Mengapa? Karena sama sekali tidak ada persoalan matematika yang tidak bisa dipecahkannya.
Deretan piala, medali, tanda penghargaan, dan bahkan ijazah yang dipajangnya di ruang tamu rumahnya merupakan bukti penguat bahwa profesor yang satu ini benar-benar jagoan dan ahli matematika. Kolega-koleganya di fakultas tempat dia mengajar, jangan ditanya hormat dan takutnya pada sang profesor. Kata-kata yang diucapkan olehnya tak berbeda jauh dengan sabda para dewa. Disimak, didengarkan, dan kemudian dilaksanakan sepenuh hati. Dekan fakultas MIPA dan ketua jurusan Matematika bak sapi yang dicocok hidungnya ketika berhadapan dengan Profesor Kompyang Reda. Jangankan sampai membantah kata-kata sang profesor, menatap matanya saja ketika mereka saling berbicara, jarang berani dilakukan.
Begitu juga dengan kolega-kolega beliau yang tersebar pada banyak universitas, mulai dari kawasan Indonesia yang paling timur sampai dengan dengan kawasan yang paling barat. Semuanya menaruh hormat pada profesor yang satu ini. Jika kolega sang profesor dalam satu fakultas takut dan segan, pastilah tidak semata-mata karena kepiawaian sang profesor dalam ilmu matematika, melainkan juga karena temperamen sang profesor yang amat sangat mudah marah. Tersinggung sedikit, bentakannya yang sanggup merontokkan debu di langit-langit ruangan, pasti segera menciutkan nyali semua dosen yang notabene sebagian besar adalah mantan murid-murid beliau sendiri. Sedangkan kolega-kolega beliau di universitas yang lain ternyata memang segan karena kehebatannya dalam ilmu matematika.
Sampai di sini sebenarnya tidak ada masalah. Seorang profesor yang benar-benar pandai, apakah dia bertemperamen penyabar ataukah bertemperamen pemberang, pasti akan tetap dihormati dan disegani karena kepandaian dan kepiawaiannya. Begitu juga dengan Prof. Kompyang Reda. Meskipun temperamen pemberangnya seringkali kelewatan, tetap saja dia akan dihormati, jika saja temperamen yang kurang ramah ini tidak dipadukan dengan sikap kurang terpuji lainnya. Sikap tidak terpuji tambahan ini, yang segera dipraktekkan oleh sang profesor pada mahasiswa baru ternyata menjadi bumerang.
Mahasiswa-mahasiswi baru yang baru tiga kali mengikuti kuliah sang profesor mulai merasakan kehebatan sang profesor. Hasil tes pendahuluan kemampuan dasar matematika mahasiswa baru ternyata nol besar. Artinya, dari satu soal yang diberikan oleh sang profesor, tidak seorang pun yang berhasil menjawab dengan benar. Yang merasa menjawab dengan benar, cukup banyak, tetapi yang benar-benar berhasil menjawab dengan benar, ternyata tidak ada. Semuanya mendapat telur bebek, telur bebek yang besar. Dan bukan hanya itu saja!
Seluruh mahasiswa baru dicuci habis-habisan. Mulai dari semprotan sembrono, tidak becus, pemalas, memandang enteng pelajaran, sampai dengan predikat bodoh, goblok dan bahkan tolol, meluncur mulus dari mulut sang profesor dan mendarat, juga dengan mulus, di telinga para mahasiswa. Semua mahasiswa tertunduk tidak berkutik. Bahkan tiga mahasiswa yang tampangnya bengal bak preman pasar Badung, yang mungkin hanya karena nasib mujur dapat diterima di jurusan matematika, tampak menundukkan kepala. Rambut mereka yang gondrong dan kumal sekali sekali tampak bergoyang, tetapi tidak lebih dari itu. Semua wajah terbenam dalam-dalam di tengah-tengah semburan kemarahan sang profesor.
“Apa jadinya fakultas ini, apa jadinya negara ini, apa jadinya ilmu yang luar biasa ini, jika orang-orang yang bertekad mempelajarinya ternyata bukan hanya goblok tetapi juga tolol luar biasa. Fakultas ini masa depannya pasti akan sesuram masa depan kalian, negara ini akan semakin tertinggal bersamaan dengan tertinggalnya kepintaran kalian, dan ilmu yang luar biasa ini akan menangis sedih dipelajari oleh sekumpulan orang-orang tolol semacam kalian.”
Sang profesor berhenti sejenak. Gaung suaranya yang merontokkan debu di langit-langit ruangan belum juga berhenti, sementara terpaan sinar matanya yang setajam pedang menyapu kepala-kepala tertunduk di depannya.
“Apa kalian …,” lanjutan suaranya yang menggelegar membuat dua mahasiswi terjingkat dari duduknya, tetapi dengan cepat dua mahasiswi yang terperanjat ini mencoba menenangkan diri. “Apa kalian tidak malu jika mengerjakan persamaan tersamar seperti ini, semuanya mendapat nol bebek besar. Jangankan benar, mendekati benar saja tidak ada. Semuanya salah total, semuanya melakukan pengawuran besar-besaran. Sebagai hukumannya, kalian semua kupulangkan sekarang, pelajari persamaan tersamar, baru dua hari kemudian kalian semua menghadap aku. Akan kuuji kalian sekali lagi, dan jika pada waktu itu belum juga ada yang bisa menjawab soal yang kuberikan dengan benar, kalian semua akan kuusir pulang untuk bertani di rumah masing-masing. Dan bagi mereka yang mencoba untuk membolos, langsung akan menerima ucapan selamat jalan bagi mereka, karena detik itu juga kalian yang mencoba bolos otomatis dipecat dan dikeluarkan dari fakultas ini. Pahaaammm….?”
Pertanyaan yang dilontarkan dengan suara menggelegar ini kembali membuat sejumlah mahasiswi melonjak dari tempat duduknya. Bahkan dua orang mahasiwa, ikut-ikutan terlonjak. Kemudian, tanpa menunggu jawaban para mahasiswa, sang profesor meluncur keluar ruangan, dan sekejab kemudian dia sudah menghilang. Tinggallah para mahasiswa saling pandang, untuk kemudian saling mencibir.
“Sialan tuh tua-bangka … Mentang-mentang dia profesor lagaknya seperti gorilla kesakitan saja … Duh, benar-benar menyesal aku masuk ke jurusan ini … “ dan masih banyak komentar miring lainnya terlontar dari mulut mahasiswa.
Dua hari kemudian, neraka kembali menggantung di ruangan matematika. Semua mahasiswa masuk. Ancaman Prof. Kompyang manjur seratus persen. Tiga mahasiswa dengan tampang preman juga hadir. Mata mereka tampak kuyu, begitu juga dengan mata sebagian besar mahasiswa. Kuyu, karena mereka harus begadang hampir dua malam untuk menggali konsep, teori, definisi, dan bahkan segala macam tipu-tipuan yang biasa diberikan oleh guru semasa mereka masih di SMA.
Hasilnya? Kembali nol besar. Semua mahasiswa kembali kena semprot. Semua jawaban salah total!
“Kalian benar-benar hebat luar-biasa,” desis sang profesor tajam, setelah hasil test dibagikan. Waktu yang dibutuhkan sang profesor untuk memeriksa tidak lebih dari 10 menit, lima menit lebih cepat dari waktu yang diberikan pada mahasiswa untuk mengerjakan soal ujian. Sementara untuk menjelaskan jawaban yang benar, sang profesor hanya memerlukan waktu dua menit saja. “Apa saja yang kalian kerjakan selama dua hari ini, hah?”
Karena tidak ada yang menjawab, suara menggelegar sang profesor kembali terdengar: “Hai, apa yang ada di ruangan ini semuanya tuli atau semuanya sejenis dengan tikus yang segera bersembunyi begitu melihat kucing? Terus terang saja, aku ini tidak ingin marah untuk yang ketiga kalinya. Mengapa? Karena semprotanku terlalu berharga untuk tikus-tikus kecil seperti kalian. Masa menjawab pertanyaanku saja tidak ada yang berani? Benar-benar luar biasa, empat puluh dua mahasiswa dengan cemerlang berhasil mendemonstrasikan bahwa diri mereka tidak lebih dari empat puluh ekor tikus. Kalian …”
Profesor Kompyang terpaksa menghentikan kata-katanya, karena seorang mahasiswa tiba-tiba saja berdiri. Matanya memancarkan sinar gentar, sementara bibirnya sedikit bergetar.
“Ha, bagus! Rupanya, ada juga seorang manusia dalam ruangan ini!” kata Profesor Kompyang sinis. “Apa yang ingin engkau katakan, anak muda?”
“Saya hanya ingin mengatakan bahwa kami menyerah pada kepandaian dan kepintaran Bapak. Saya, dan juga teman-teman yang lain, dengan ini mengakui bahwa kami semua memang tidak becus. Penjelasan yang Bapak berikan membuka mata kami bahwa masih banyak hal yang harus kami pelajari. Tetapi …” Sampai di sini mahasiswa yang bola matanya bundar menawan ini berhenti, seakan-akan ingin memancing respon Prof. Kompyang.
“Hai, ayo teruskan!” kata Prof. Kompyang yang rupanya terpancing. “Kau cecunguk kecil tidak perlu berlagu di hadapanku, ya! Siapa namamu?”
“Ketut Sudiarta, pak Prof.”
“Baik, sekarang teruskan kalimatmu!”
“Tetapi saya mempunyai soal matematika, termasuk dalam persamaan tersamar juga pak Prof. Saya belum yakin bahwa bapak akan bisa memecahkan persoalan ini. Teman-teman saya di desa gagal memecahkannya!”
“Desamu di mana?”
“Desa Culik, pak Prof!”
Beberapa mahasiswi tampak berusaha menahan tawa mereka. Senyum sinis juga terlihat samar-samar di sudut-sudut bibir sang profesor. Sialan nih mahasiswa, soal yang gagal dijawab oleh teman-temannya di desa sekarang akan ditebakkan pada dirinya? Benar-benar sial dangkalan, Prof. Kompyang mendengus dalam hati.
“Baik, bagaimana soal matematikamu?”
“Tetapi …”
“Tetapi apa lagi,” potong Prof. Kompyang cepat.
“Tetapi bagaimana kalau pak Prof. gagal menjawabnya?”
Bibir Prof. Kompyang bergetar, sementara amarahnya hampir saja meledak. Dia adalah profesor matematika yang benar-benar profesor matematika. Bagaimana anak ingusan ini berani mengatakan bahwa dia belum tentu mampu menjawab soal matematikanya.
“Aku tidak akan mengajar matematika lagi!” jawab sang profesor cepat.
“Kalau begitu saya tidak akan memberikan soal itu,” jawat Ketut tidak kalah cepatnya.
“Hai, mengapa? Engkau khawatir aku tidak bisa menjawabnya? Jangan khawatir anak muda, sampai saat ini seingatku belum ada soal matematika yang gagal kujawab.”
“Saya tetap tidak akan memberikan soal itu kalau sebagai taruhannya pak Prof. tidak mau mengajar lagi,” Ketut, yang mulai semakin tenang, bersikeras.
Sedangkan teman-temannya yang semula kecut hatinya, mulai tenang dan sekaligus tertarik menyaksikan dialog ini. Benar-benar tidak mereka sangka bahwa teman mereka dengan tampang kampungan semacam ini, ternyata mampu membuat Prof. Kompyang, profesor matematika tergalak di seantero pulau Bali, larut dalam dialog.
“Lalu …”
“Saya baru akan berikan soal itu, kalau pak Prof. mau berjanji bahwa jika pak Prof. gagal menjawab soal ini, pak Prof. akan tetap mengajar seperti biasa, hanya marah-marah dan bentakannya saja yang dikurangi. Itu saja permintaan saya! Kalau pak Prof. tidak setuju dengan syarat ini, ya …”
Dengan cerdik Ketut Sudiarta berhenti dan tidak melanjutkan kalimatnya. Prof. Kompyang tercenung, wajahnya yang sarat dengan pengalaman tidak menampakkan apa-apa. Tetapi bagi orang yang berpengalaman, dari sinar mata sang profesor akan terlihat betapa bergemuruhnya dada sang profesor.
Setelah lama tercenung, akhirnya dengan suara yang tampak jelas diusahakan seramah mungkin, sang profesor akhirnya berkata:
“Baiklah, syaratmu kuterima, Ketut! Jika aku gagal menjawab soal matematikamu, kalian semua tidak akan pernah melihat aku marah-marah lagi dalam kelas ini.”
Ketut Sudiarta tersenyum, seluruh mahasiswa yang lain juga tersenyum. Satu kosong untuk kemenangan mahasiswa.
“Soalnya begini, pak Prof.,” Ketut Sudiarta dengan suara penuh nada kemenangan mulai membeberkan soal matematikanya. “Ada tiga pedagang kelapa. Pedagang I mempunyai 10 butir kelapa, Pedagang II mempunyai 30 butir kelapa, dan Pedagang III mempunyai 50 butir kelapa. Mereka ingin menjual kelapa-kelapa tersebut. Ketika menjual kelapanya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.
Persyaratan tersebut adalah (1) mereka harus menjual semua kelapa yang ada; (2) waktu menjual, harga penjualan harus sama; (3) pendapatan akhir setelah semua kelapa dijual harus sama; (4) tidak boleh menjual dengan harga nol; (5) tidak boleh ada tipuan, bonus, ataupun diskon.
Pertanyaannya sekarang, dijual dengan harga berapa kelapa-kelapa tersebut agar semua persyaratan ini terpenuhi.”

******

Tidak lagi terdengar bentakan Prof. Dr. Kompyang Reda, M.Sc dari ruang kuliah mahasiswa semester I jurusan Matematika. Sementara pihak Rektorat dan Senat Universitas gagal menemu kenali latar belakang pengajuan permohonan pensiun dini Prof. Kompyang. Hanya sas-sus yang beredar mengatakan bahwa Prof. Kompyang sedang sibuk memikirkan sesuatu! Sebuah alasan yang sangat aneh!

Catatan: Jika pembaca berkenan menguji logika dan akal sehat masing-masing, he .. he … he … saya tidak berkeberatan jika setalah ada hasilnya, hasilnya dikirimkan ke alamat alamat e-mail saya. Ada hadiah ‘luar biasa’ untuk anda dan salah satu diantaranya adalah kesempatan untuk menikmati puisi yang khusus saya gubah dari cerpen olah pikir untuk diikutsertakan dalam ‘Lomba Penulisan Puisi Matematika’ di Universitas Sriwijaya Palembang.
Hadiah dri sponsor juga ada tetapi keputusan saya yang akan menjadi ‘juri tunggal’ tidak dapat diganggu gugat he…he… he….
Jawaban atas teka-teki ini sangat logis, matematis, dan akademis. Tidak ada tipu-tipuan dalam hal ini. Dijamin! Bagaimana? Berani menerima tantangan ini?

2 komentar: